Pak Suto Penjual Tembakau

Kami berdua memutuskan untuk menuju lokasi wisata pegunungan di Jawa Timur yang belum pernah kami kunjungi. Dengan bermodalkan bensin “full tank” seharga Rp 25 ribu, dan bekal makan siang serta minum secukupnya, saya pun mengarahkan laju motor pada Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Pada daerah tersebut saya dan isteri menikmati keindahan Gunung Anjasmoro yang masih terbilang “perawan” dibanding dengan Pacet, Tretes atau Batu.

Oleh anugerah-Nya kami bisa terpukau akan keindahan Gunung Anjasmoro, hingga kami memutuskan untuk menyusuri desa demi desa hingga puncak gunung yang masih terjangkau oleh laju motor, meski harganya sempat kami bayar dengan jalan kaki karena ban bocor akibat jalanan yang berbatuan. Tak lupa juga kami berusaha memberikan “rasa” dalam perjalanan kami, tidak membiarkan perjalanan yang hanya sekadar have fun atau menghabiskan waktu liburan begitu saja.

Rasa yang kami berikan dalam perjalanan kali ini adalah berinteraksi dengan masyarakat setempat, kami sengaja berhenti pada penjual pentol/cilok keliling. Dalam perhentian tersebut, kami sempatkan berbincang dengan penjual dan pembeli lainnya, hingga kami mendapatkan informasi dari penjual tersebut kalau salah satu pembeli pentolnya adalah seorang penjual tembakau yang berasal dari Babat, Lamongan (salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur).

Singkat cerita, sambil menikmati pentol yang telah kami beli, kami mulai berbincang dengan penjual tembakau tersebut. Perbincangan diawali dengan pertanyaan saya: “Dari Lamongan ke sini naik apa, Pak?” Hingga akhirnya banyak cerita tersampaikan dari penjual tembakau tersebut. Pak Suto namanya, menurut pengakuannya sesuai yang tertulis di KTP memiliki tahun kelahiran 1945 (namun menurut kami lebih muda dari itu, mungkin usianya sekitar 60 s.d. 65 tahun, barangkali Pak Suto lupa dengan tahun kelahirannya, maka dipilihlah tahun kemerdekaan).

Pak Suto memiliki tiga anak, anaknya yang pertama telah berkeluarga, sementara kedua anaknya yang lain masih duduk di bangku Kelas IX SMP dan Kelas VI SD. Selain sebagai penjual tembakau keliling, Pak Suto juga mengerjakan ladang jagung di daerah asalnya yang lahannya “dipinjami” oleh Perum Perhutani. Selain lahan yang dipinjami, bibit jagung yang ditanam pun juga dipinjami (sistem pembayarannya akan dipotongkan dari hasil panen setiap tiga bulan). Penjualan hasil panen mendapatkan Rp 3 juta, lalu dipotong sebesar Rp 500 ribu untuk ganti biaya pembelian bibit jagung, jadi untung yang didapat Pak Suto sekali panen setiap 3 bulan sebesar Rp 2,5 juta.

Dalam rentang waktu selama 3 bulan, sembari menunggu bibit-bibit jagung di ladang menumbuhkan jagung-jagung terbaiknya, Pak Suto melakukan pekerjaan lain. Pekerjaan lain yang dilakoni inilah yang kami lihat saat berjumpa dengannya di salah satu pedesaan di Gunung Anjasmoro. Dengan menenteng dua glangsing (karung plastik) yang dikaitkan pada kedua ujung belahan batang rotan yang diletakan pada bahunya, Pak Suto keliling dari satu desa ke desa lainnya.

Kami sempat melihat isi dalam glangsing yang ditenteng Pak Suto untuk membeli beberapa bungkus tembakau kering (yang dikemas dalam plastik tembus pandang berukuran besar), selesai melihatnya kami memberikan sejumlah uang pembelian kepada Pak Suto, dan membiarkan bungkusan-bungkusan tembakau yang telah kami beli tersebut tetap berada dalam glangsingnya. Per bungkus tembakau dijual oleh Pak Suto seharga Rp 15 ribu, sementara Pak Suto sendiri selalu membawa 60 bungkus tembakau kering dalam glangsing yang ditentengnya. Enam puluh bungkus tembakau kering tersebut akan habis terjual dalam waktu empat hari.

Dalam kurun waktu empat hari, Pak Suto berjalan kaki menyusuri desa-desa yang ada di Gunung Anjasmoro. Menurut pengakuannya, Pak Suto dari Lamongan naik bis menuju Trowulan, lalu dari Trowulan ke Wonosalam naik angkutan pedesaan, setibanya di Wonosalam barulah Pak Suto mulai berjalan menjajakan tembakau keringnya. Pak Suto menjajakannya mulai pagi hingga petang, saat malam hari Pak Suto menumpang tidur di rumah Ketua RT setempat. Tak jarang tumpangan yang didapat hanya ruang terbuka tanpa atap, dan sarung yang selalu dibawa dalam tasnya menjadi andalan pamungkas untuk melawan dinginnya udara Gunung Anjasmoro saat malam hari.

Pak Suto menemukan market di Gunung Anjasmoro, karena “generasi perokok linting” masih cukup banyak dijumpai di daerah tersebut. Oleh sebab telah menemukan market, maka Pak Suto akan pulang ke rumahnya setelah tembakau keringnya habis terjual, dan sepuluh hari kemudian pasti kembali lagi ke Gunung Anjasmoro untuk menjajakan kembali tembakau keringnya. Menjual tembakau kering di Gunung Anjasmoro ini telah dilakoni selama lima tahun terakhir, sebelumnya selama bertahun-tahun Pak Suto juga pernah berjualan keliling di Kabupaten Malang, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, dan sekitarnya. Hanya saja saat berjualan keliling sebelumnya yang dijual adalah tikar anyaman dari rotan dan sapu lidi.

Perjumpaan kami dengan Pak Suto akhir pekan lalu tersebut, ditutup dengan cerita tentang anak keduanya yang sebentar lagi meninggalkan bangku SMP. Anak keduanya ingin masuk SMK, dan Pak Suto berdoa supaya mimpi anaknya terwujud dengan tersedianya biaya masuk ke SMK sekitar Rp 2 juta melalui usahanya bekerja. Selesai mendengar tuturan kisah Pak Suto, saya pun menutup perjumpaan kami dengan ungkapan yang menguatkan dalam bahasa Jawa halus (kromo inggil), salah satu ungkapannya saya artikan sebagai berikut: “Bapak luar biasa sekali, memilih untuk tetap bekerja, bukan meminta-minta seperti banyak saya jumpai bertebaran pengemis tua di Kota Surabaya.”

Melalui kisah Pak Suto, kita belajar tentang arti bekerja. Rentanya usia bukan berarti harus menyerah dan memilih jalan untuk meminta-minta. Bekerja adalah syarat utama yang harus dilakukan apabila kita mau makan, dan Pak Suto mendapatkan pemenuhan kebutuhan jasmani untuk dirinya dan keluarga melalui bekerja. Sejak penciptaan Adam sebagai manusia yang pertama pun, Tuhan telah memerintahkan Adam untuk bekerja dengan cara mengusahakan dan memelihara Taman Eden yang diperuntukan bagi manusia.

Perintah yang Tuhan berikan kepada Adam bukan hanya sekadar perintah yang tanpa teladan, Tuhan pun turut memberikan teladan dalam hal bekerja. Tuhan telah bekerja dengan sangat baik dalam menciptakan dunia ini beserta segala isinya, bahkan Tuhan telah bekerja hingga turun ke dunia untuk menggantikan umat manusia yang seharusnya menerima hukuman keji atas dosa-dosa yang dilakukannya. Sampai hari ini dan hari depan pun, Tuhan akan terus bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.

Pak Suto telah memilih untuk tidak tinggal diam dan hanya berdoa dalam mewujudkan mimpi anaknya, namun Pak Suto memilih untuk mewujudkan doa itu dengan bekerja. Pak Suto telah memilih untuk tidak sekadar melipat tangan selama menunggu waktu panen di desanya, namun Pak Suto memilih untuk turun tangan dengan menjajakan tembakau keringnya. Tindakan yang Pak Suto lakukan ini mengingatkan saya akan motto yang ada dalam abad pertengahan: Laborare est Orare, motto tersebut memiliki arti: Bekerja adalah Berdoa. Pak Suto menjadikan kerjanya sebagai doa, doanya supaya kebutuhan uang masuk SMK terpenuhi, telah Pak Suto wujud nyatakan melalui kerjanya.

Akhir kata, apa pun profesi kita saat ini, apakah sedang memanggul beban di bahu atau lebih banyak duduk di kursi hingga pinggul terasa linu, mari menjadikan kerja kita sebagai doa. Karena saat kita sedang bekerja, kita sedang mengomunikasikan seluruh karsa dan karya kita kepada Sang Pencipta.

Tinggalkan komentar